Minggu, 21 September 2008

Mulyanto : Sisdiknas, Kasus Pendidikan Vokasi di SMK

Isu pendidikan nasional selalu menarik untuk didiskusikan, tentunya ini semua dilakukan untuk menentukan langkah konkret untuk kemajuan pendidikan kita yang berdialektika kausal dengan pengentasan kemiskinan.

Namun sebelumnya adakah diantara kawans yang tau tentang sejarah lahirnya pendidikan vokasi (SMK dan D3 kejuruan) di Indonesia? Betulkah dibentuk untuk memersiapkan lulusan2 yang siap mengabdi pada modal? terutama modal besar? atau seperti apa?

Saya setuju dengan Mas Wisnu tentang redefinisi Tujuan Pendidikan Nasional. Khususnya pada tataran praksisnya. Di milis ini dalam pengamatan pribadi saya, kita cukup intens dalam mendialektikakan tentang sistem pendidikan nasional, namun betul kata Bang Lulu, semestinya asos dan ikatan psikologi pendidikan yang ada di HIMPSI lebih memiliki langkah2 konkret dalam merespon isu sisdiknas ini.

Pendidikan tidak bebas nilai, saya sangat setuju itu. Artinya potensi akademik anak didik harus bisa menjawab persoalan kemiskinan. Pendidikan harus dirancang kearah penegakan keadilan dan mampu membekali anak didik dalam menghadapi persoalan hidup. Matematika, bahasa, seni dan budaya adalah alat untuk memakmurkan bumi ini. Bukan tujuan.

Dasawarsa terakhir ini pendidikan vokasi (kejuruan) semakin digemari masyarakat. Mulai dari SMK sampai D3/ Politeknik. Kebanyakan dari mereka percaya: "kalo ambil kejuruan cepat dapat kerja". Itu tidak salah, namun melihat perilaku modal di Indonesia yang semaunya sendiri (terutama modal asing) kita sebagai Bangsa yang besar dan bermartabat, semestinya dapat menempatkan posisi dan dapat berdiri tegak di hadapan pemodal asing. "Kita" disini berarti negara, masyarakat, dan pemodal pribumi.


Kasus Pendidikan Vokasi di SMK.

Problem:

Pertama,
saya sependapat dengan Mas Wisnu. Mata pelajaran siswa sangat bejubel, sampai ada kesan kita sedang menjalankan "kurikulum yang autis" atau kurikulum yang gagap memecahkan persoalan hidup yang sesungguhnya. Parahnya, dinas P&K di daerah begitu taklid terhadap Kompetensi Dasar (KD) yang sudah ditetapkan Depdiknas tanpa mengkritisi sesuai konteks dimana KD itu diterapkan karena khawatir KD2 tersebut akan di UAN (ujian nasional)kan.
Ini persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh para pengambil kebijakan (Pemerintah) . Jangan sampai setiap daerah yang sudah pasti berbeda HDI (human devolepment indeks)-nya di generalisasikan, tanpa menyesuaikan konteks kedaerahan.

Kedua,
Ada prosedur pada Depdiknas, setiap SMK harus mempunyai hubungan dengan Dunia Industri (DU). Parahnya DU akan dipuja apabila sebuah industri besar yang kuat dan berkapita besar yang mampu menyediakan tempat untuk praktek siswa (walaupun pada kenyataannya praktek industri yang disediakan tidak sesuai dengan program kejuruan yang ditekuni siswa). Khususnya ini terjadi di Banten, tempat kami berkiprah (untuk tidak mengeneralisasi setiap Dinas P&K se Indonesia). Bukankah ini bentuk pendewaan terhadap kapital? padahal jelas-jelas kita tahu industri2 besar di negeri kita ini adalah korporasi asing yang memiliki prosedur yang berlipat-lipat apabila hendak membuat MOU dengan pihak sekolah. Mengapa kita terlalu merunduk kepada Industri asing?
padahal tidak selamanya berhubungan dengan industri besar membuahkan simbiosis mutualisme yang sehat. contoh kecilnya begini, siswa SMK yang menekuti Teknik komputer dan jaringan, ketika ia praktek kerja industri di PT x/y, tidak jarang diminta merangkap menjadi OB atau pekerjaan lain yang bersifat insidental. Tentunya, masalah ini belum ada winwin solution dari Depdiknas.

Ketiga,
Dimana peran Psikolog, ilmuan psikologi, Asos/ Ikatan?


Draft Solusi:
Ada banyak hal yang sebetulnya bisa kita lakukan,

  1. Himpsi Pusat/ Daerah mengadakan pembinaan kelompok wirausaha kecil/ menengah.
  2. Bila pendidikan akan dirancang berkorelasi dengan kemiskinan, berarti harus ada upaya sistemik kerjasama antara Ikatan Psikologi Pendidikan / Asosiasi Psikologi Sekolah dengan APIO tentang pendidikan vokasi.
  3. Hubungan sekolah dengan industri besar baru akan harmonis apabila salah satunya APIO memberikan gambaran Profil Tipe Pegawai yang dibutuhkan industri tertentu, kemudian gambaran tersebut akan dijadikan dasar membuat kurikulum (KTSP) bagi APSI/ IPP.
  4. Para psikolog Industri dan Pendidikan harus berjabat, merapatkan barisan, dan melangkah konkret bersama, dalam mengusung Pendidikan Berbasis Pengentasan Kemiskinan. Setidaknya dimulai dari skala lokal.


Semoga tidak hanya menjadi wacana utopis.

Salam cenghar selalu
Anto "Banten"

Monday, August 25, 2008

Tidak ada komentar: