Kamis, 16 Oktober 2008

Bung Harez tentang RUU Sisdiknas versus Standar HAM

Dear Isti,
Tulisan yang berjudul "RUU Sisdiknas "Versus" Standar HAM" tersebut sebenarnya tulisan Mei 2003, tetapi pemikiran dan pembahasannya masih cukup menarik untuk disimak.RUU Sisdiknas yang dikemukakan dalam tulisan tersebut ya sudah dijadikan UU No. 20 tahun 2003 (disahkan Juli 2003). Naskahnya bisa didownload di: http://www.inherent -dikti.net/ files/sisdiknas. pdfUU no 11 tahun 2005 memang merupakan pengesahan KIHESB.Naskah UUnya dapat didownload di: http://www.kksp. or.id/id/ dl_jump.php? id=10

Naskah KIHESBnya dapat didownload di: http://www2. ohchr.org/ english/law/ pdf/cescr. pdf.

Hal-hal yang cukup menarik untuk disimak dari tulisan Mohammad Farid tersebut antara lain adalah uraiannya berikut ini:
Pendidikan agama menjadi salah satu isu dalam hak atas pendidikan. KIHESB merumuskan (Pasal 13 Ayat 3), "Negara-negara peserta berupaya menghormati kebebasan orangtua (atau wali…) dan menjamin pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai keyakinan mereka". Dengan demikian, ketentuan RUU (Pasal 13 Ayat 1 huruf a) yang mengakui hak peserta didik untuk "mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama" dapat dikatakan sebagai upaya negara menghormati dan menjamin hak para murid sesuai HAM internasional.

Meski demikian, perlu disadari, KIHESB tidak menentukan bahwa yang mengajarkan pendidikan agama harus yang beragama sama dengan (para) murid. Ketentuan bahwa pengajar harus seagama dengan yang diajar, kiranya dilatarbelakangi corak pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia yang menekankan pada kepatuhan menjalankan ibadah agama, tidak mengajarkan agama sebagai suatu ilmu pengetahuan. Praktik pendidikan agama seperti ini kiranya akan senantiasa menimbulkan ketegangan yang entah kapan kesudahannya.

Pasal 13 Ayat 1 huruf A sebagaimana tercantum dalam RUU dikemukakan oleh Farid tersebut, pada UU No. 20 tahun 2003 tercantum dalam Pasal 12 Ayat 1 huruf A, yang tertulis:
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dandiajarkan oleh pendidik yang seagama;
Sedangkan pasal 13 ayat 3 KIHESB berbunyi
3. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to choose for their children schools, other than those established by the public authorities, which conform to such minimum educational standards as may be laid down or approved by the State and to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.

Lebih lanjut Farid mengemukakan bahwa :
Sebenarnya jika pendidikan agama diajarkan lebih sebagai pengetahuan, sebagaimana saran Komite Hak-hak Ekonomi-Sosial- Budaya, "…mengajarkan pelajaran seperti sejarah umum agama-agama dan etika… secara obyektif dan tidak bias…" (General Comment 13, paragraf 28), maka ketegangan kiranya akan bisa bisa dinetralisir.

Pendidikan agama sebagai pengetahuan sebagaimana saran Komite itu, misalnya, dengan mengintroduksi suatu mata pelajaran "Agama-agama Besar di Dunia", pengajarannya tidak perlu dilakukan oleh guru yang seagama dengan agama peserta didik. Selain itu, ia tidak melanggar HAM-nya peserta didik yang memilih untuk tidak (atau belum) beragama karena toh tidak memaksa murid untuk menjalankan ibadah agama yang tidak dipeluknya.Apa yang dikemukakan oleh Farid tersebut dapat menjadi sesuatu yang menarik apabila dikaitkan dengan wacana soal pendidikan/program pengembangan karakter.

Dalam pemahaman saya, "pengajaran agama sebagai pengetahuan" jelas berbeda dengan "corak pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia yang menekankan pada kepatuhan menjalankan ibadah agama, tidak mengajarkan agama sebagai suatu ilmu pengetahuan". Kalau diperhatikan, maka nuansa pendidikan/program pengembangan karakter justru akan lebih terkait dengan corak pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia. Dalam hal ini, dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya corak pendidikan agama di Indonesia juga sudah mempertimbangkan pendidikan/program pengembangan karakter, bukan sekdar pengetahuan.Pertanyaan yang dapat timbul adalah "Mengapa Komite Hak-hak Ekonomi-Sosial- Budaya menyarankan pendidikan agama diajarkan lebih sebagai pengetahuan?".

Dari uraian Farid tersebut di atas, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah "untuk menetralisir ketegangan praktek pendidikan agama yang menekankan kepatuhan menjalankan ibadah agama".Pertanyaan lanjutan yang dapat timbul antara lain adalah "Apakah pengajaran agama sebagai pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk menetralisir ketegangan?"Menurut saya, itu bukan satu-satunya cara. Kedua pendekatan tersebut, pengajaran agama sebagai pengetahuan dan pengajaran kepatuhan untuk menjalankan ibadah agama bukanlah dua hal yang mutually exclusive. Keduanya dapat dikombinasikan untuk diajarkan secara berbarengan. Kepatuhan menjalankan ibadah agama adalah sesuatu yang baik sebagai pencerminan sila pertama Pancasila, pengetahuan tentang agama-agama lain baik untuk diajarkan sebagai dasar-dasar untuk pengembangan toleransi beragama sebagai perwujudan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam rangka mencapai dan mempertahankan perwujudan sila ketiga Pancasila.

Berdasarkan hal itulah, saya mendukung upaya-upaya untuk menyusun program-program pengembangan karakter berbasiskan nilai-nilai Pancasila yang juga pernah dikemukakan di milis kita ini. Dan saya yakin, sekecil apapun komunitas psikologi dapat berperan dan memberikan sumbangsih untuk itu.Dana kalau itu berhasil diwujudkan dengan baik di Indonesia, maka pengalaman tersebut mungkin dapat dikemukakan ke Komite Hak-hak Ekonomi-Sosial- Budaya PBB agar mereka dapat merumuskan saran-saran baru mengenai pendidikan agama. Hal ini yang saya maksud dengan pengalaman di Indonesia untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih luas, dalam rangka mencapai perwujudan cita-cita yang ada dalam Piagam PBB. Mengajukan alternatif solusi kongkrit, ketimbang sekedar terus mempermasalahkan berbagai kebijakan yang ada.Begitu Isti ceritanya. :-)

Sayang kemarin saya tidak bisa ikut pertemuan. Walaupun demikian, dengan berbagai keterbatasan yang saya miliki, saya tetap berminat dan berniat untuk turut memberikan sumbang pemikiran. :-)

salam,
harez

3 Oktober 2008

Minggu, 21 September 2008

Mulyanto : Sisdiknas, Kasus Pendidikan Vokasi di SMK

Isu pendidikan nasional selalu menarik untuk didiskusikan, tentunya ini semua dilakukan untuk menentukan langkah konkret untuk kemajuan pendidikan kita yang berdialektika kausal dengan pengentasan kemiskinan.

Namun sebelumnya adakah diantara kawans yang tau tentang sejarah lahirnya pendidikan vokasi (SMK dan D3 kejuruan) di Indonesia? Betulkah dibentuk untuk memersiapkan lulusan2 yang siap mengabdi pada modal? terutama modal besar? atau seperti apa?

Saya setuju dengan Mas Wisnu tentang redefinisi Tujuan Pendidikan Nasional. Khususnya pada tataran praksisnya. Di milis ini dalam pengamatan pribadi saya, kita cukup intens dalam mendialektikakan tentang sistem pendidikan nasional, namun betul kata Bang Lulu, semestinya asos dan ikatan psikologi pendidikan yang ada di HIMPSI lebih memiliki langkah2 konkret dalam merespon isu sisdiknas ini.

Pendidikan tidak bebas nilai, saya sangat setuju itu. Artinya potensi akademik anak didik harus bisa menjawab persoalan kemiskinan. Pendidikan harus dirancang kearah penegakan keadilan dan mampu membekali anak didik dalam menghadapi persoalan hidup. Matematika, bahasa, seni dan budaya adalah alat untuk memakmurkan bumi ini. Bukan tujuan.

Dasawarsa terakhir ini pendidikan vokasi (kejuruan) semakin digemari masyarakat. Mulai dari SMK sampai D3/ Politeknik. Kebanyakan dari mereka percaya: "kalo ambil kejuruan cepat dapat kerja". Itu tidak salah, namun melihat perilaku modal di Indonesia yang semaunya sendiri (terutama modal asing) kita sebagai Bangsa yang besar dan bermartabat, semestinya dapat menempatkan posisi dan dapat berdiri tegak di hadapan pemodal asing. "Kita" disini berarti negara, masyarakat, dan pemodal pribumi.


Kasus Pendidikan Vokasi di SMK.

Problem:

Pertama,
saya sependapat dengan Mas Wisnu. Mata pelajaran siswa sangat bejubel, sampai ada kesan kita sedang menjalankan "kurikulum yang autis" atau kurikulum yang gagap memecahkan persoalan hidup yang sesungguhnya. Parahnya, dinas P&K di daerah begitu taklid terhadap Kompetensi Dasar (KD) yang sudah ditetapkan Depdiknas tanpa mengkritisi sesuai konteks dimana KD itu diterapkan karena khawatir KD2 tersebut akan di UAN (ujian nasional)kan.
Ini persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh para pengambil kebijakan (Pemerintah) . Jangan sampai setiap daerah yang sudah pasti berbeda HDI (human devolepment indeks)-nya di generalisasikan, tanpa menyesuaikan konteks kedaerahan.

Kedua,
Ada prosedur pada Depdiknas, setiap SMK harus mempunyai hubungan dengan Dunia Industri (DU). Parahnya DU akan dipuja apabila sebuah industri besar yang kuat dan berkapita besar yang mampu menyediakan tempat untuk praktek siswa (walaupun pada kenyataannya praktek industri yang disediakan tidak sesuai dengan program kejuruan yang ditekuni siswa). Khususnya ini terjadi di Banten, tempat kami berkiprah (untuk tidak mengeneralisasi setiap Dinas P&K se Indonesia). Bukankah ini bentuk pendewaan terhadap kapital? padahal jelas-jelas kita tahu industri2 besar di negeri kita ini adalah korporasi asing yang memiliki prosedur yang berlipat-lipat apabila hendak membuat MOU dengan pihak sekolah. Mengapa kita terlalu merunduk kepada Industri asing?
padahal tidak selamanya berhubungan dengan industri besar membuahkan simbiosis mutualisme yang sehat. contoh kecilnya begini, siswa SMK yang menekuti Teknik komputer dan jaringan, ketika ia praktek kerja industri di PT x/y, tidak jarang diminta merangkap menjadi OB atau pekerjaan lain yang bersifat insidental. Tentunya, masalah ini belum ada winwin solution dari Depdiknas.

Ketiga,
Dimana peran Psikolog, ilmuan psikologi, Asos/ Ikatan?


Draft Solusi:
Ada banyak hal yang sebetulnya bisa kita lakukan,

  1. Himpsi Pusat/ Daerah mengadakan pembinaan kelompok wirausaha kecil/ menengah.
  2. Bila pendidikan akan dirancang berkorelasi dengan kemiskinan, berarti harus ada upaya sistemik kerjasama antara Ikatan Psikologi Pendidikan / Asosiasi Psikologi Sekolah dengan APIO tentang pendidikan vokasi.
  3. Hubungan sekolah dengan industri besar baru akan harmonis apabila salah satunya APIO memberikan gambaran Profil Tipe Pegawai yang dibutuhkan industri tertentu, kemudian gambaran tersebut akan dijadikan dasar membuat kurikulum (KTSP) bagi APSI/ IPP.
  4. Para psikolog Industri dan Pendidikan harus berjabat, merapatkan barisan, dan melangkah konkret bersama, dalam mengusung Pendidikan Berbasis Pengentasan Kemiskinan. Setidaknya dimulai dari skala lokal.


Semoga tidak hanya menjadi wacana utopis.

Salam cenghar selalu
Anto "Banten"

Monday, August 25, 2008

Rabu, 17 September 2008

Mas Antonius Wiwan tentang Sisdiknas

Friday, September 12, 2008 1:19 AM

Salam untuk semuanya...
Saya juga tertarik dengan pembahasan mengenai Sistem Pendidikan Nasional...
Satu hal positif yang kita bisa lihat adalah bahwa dengan terminologi "Sistem Pendidikan Nasional" sebetulnya arahnya sudah baik juga ya, yaitu men-sistem-kan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.

Dari diskusi dengan narasumber di Depdiknas, satu poin yang mengemuka adalah bahwa Depdiknas memang sedang berusaha untuk mengusahakan terciptanya suatu sistem dalam kebijakan pendidikan, ini untuk mencegah "tradisi" di negara kita, yaitu ganti Menteri, ganti kebijakan. Konon, diharapkan, dengan mekanisme legal formal, yaitu dari UU Sisdiknas, dengan turunan-turunan produk-produk Peraturan perundangan lanjutannya, diharapkan penyelenggaran pendidikan nasional dapat berjalan dalam suatu koridor yang sistematis, dan berstandar nasional.

Permasalahannya dan yang menjadi concern kita semua adalah, bagaimana penyusunan dan penetapan substansi sistem dan turunan teknis pelaksanaanya itu, supaya dapat optimal menuju penyelenggaraan pendidikan nasional yang sebaik-baiknya. ..

Menarik dan pasti bermanfaat, apabila dari komunitas Psikologi Indonesia juga dapat berkontribusi sesuai kapasitasnya ya...

Salam,
Antonius Wiwan Koban
Peneliti The Indonesian InstituteAlumnus F.Psi Atma Jaya '95.

Mbak Tiwin bincang tentang Pendidikan di Finland...

On 09 Sep 08, at 13:37, tiwin herman wrote:
Mas Agus selamat siang.......

Maaf baru ngikutin lagi nih...ya.... namanya wanita kurir mas...mesti ngurir kesana-sini hehehe.....

Mas,
Kalu berbicara masalah pendidikan di Finland, rasanya memang benar dan kehidupan disanapun, rasanya juga ”menyenangkan” . Ketika ribut2nya perundingan dengan GAM dulu, kebetulan yang menjadi dubes adalah Ibu Iris Indira Murti, yang berasal dari komunitas psikologi juga (UI angkatan 72) dan mungkin tergolong langka karena beliau psikolog tetapi aktif didunia politik. Beiau termasuk dubes perempuan yang tergolong sukses katika menjabat sebagai dubes. Nah, kalo mau bertanya mengenai pendidikan disana, mungkin beliau bisa untuk dijadikan narasumber.

Ada sedikit cerita yang langsung tak dengar ketika dalam perjalanan yang kurang lebih 5 jam . Si Pengendara, sebut aja pak A, ditanya apa pekerjaannya, dijawab ”ya...begini. ..begini saja bu...”. Di Finland, setiap orang (baik WN Finland maupun WNA) boleh memilih mau membayar pajak atau tidak. Kalo membayar pajak (yang cukup besar hampir mencapai 40 - 60% tetapi dengan sisanya masih bisa hidup layak lho....), maka ybs beserta keluarganya akan mendapatkan pendidikan dan kesehatan GRATIS.

Berceritalah pak A, bahwa dia memilih membayar pajak dan kemudian dia bersama keluarganya yang terdiri dari istri dan 3 orang anaknya mendapatkan seperti nomor jaminan sosial. Istrinya dulu dikampung (Tasikmalaya) mengajar di madrasah, 2 anaknya sudah sekolah SD dan 1 orang masih balita. Keluarganya tersebut setelah tercatat, kemudian belajar bahasa SUOMI (bhs asli Finland) terlebih dahulu dan – gratis. Setelah itu, mereka belajar bhs Inggris, gratis juga. Setelah anak2nya bisa berbahasa Inggris, maka mereka bersekolah yang menggunakan bahasa Inggris – gratis. Kalo sakit, mereka langsung ke rumah sakit dan – gratis. Apakah hanya sakit saja yang ditanggung ? ternyata tidak, yang bersifat kosmetispun juga gratis, terbukti penggunaan kawat gigi untuk mempercantikpun – gratis. Istrinya kemudian belajar ketrampilan rumah tangga melalui lembaga kursus pemerintah (semacam BLK disini) – gratis. Hanya sampai disitu ? Ternyata tidak. Si Istri kemudian melamar pekerjaan dan karena suaminya membayar pajak, MAKA NEGARA BERKEWAJIBAN MENCARIKAN PEKERJAAN bagi warga pembayar pajak tersebut. Istrinya kemudian mendapat pekerjaan sebagai pengajar agama Islam di sekolah Pakistan (disebut demikian karena muridnya kebanyakan dari Pakistan dan negara-negara asia/timur tengah lainnya).

Ketika cerita ini disampaikan, si istri baru mulai bekerja. Pak A berencana si istri akan membayar pajak juga dan karena suami sudah kena pajak besar maka istri cukup 30%nya saja. Dalam rencana pak A, bila istri sudah membayar, maka mereka akan mengajak adik2nya untuk tinggal di Finland, memasukkan namanya untuk mendapatkan nomor jaminan sosial supaya adik2nyapun bisa mendapatkan hidup yang lebih layak.

Gimana mendengar cerita semacam ini ??
Huaahh...... ...rasanya maknyus tenan !!
Aku yakin bahwa negara kitapun bisa sampai ke tahap itu. Hanya ketika tiba pada masanya, mungkin aku udah tidak bisa ikut menikmatinya heheheh..... .....

Salam hangat,
th

Mbak Kasandra : Kurikulum Overloaded, jadikan anak Indonesia mudah panik n agresif..?

A. Kasandra Putranto, psychologist mengatakan...
hr ini (14 Sept 2008 - red.)headline news kompas memberitakan 6 anak tewas krn panik dikejar polisi, polisi bilang mereka tawuran, ehm bener enggaknya apsifor mesti turun tangan, mas seto komen krn kurikulum overloaded, anak indo jd mudah panik n agresif..... salah st peer kita, mgk bs bikin research how stress r our children due to their studyload. Btw, busway, mana yg lain ?

Kamis, 11 September 2008

Pokok Permasalahan Sisdiknas dan Teknis Pembahasan

Re: [psiindonesia] Re: Fwd: Re : Sisdiknas- Diskusi
Tuesday, September 9, 2008 2:29 AM


Rekan2 semua,
Mulai meriah ya . Appreciate masukan dari kawan2 yang Yahood banget ( Jadul ya ??).

Saya amati sudah ada ada 9 orang meresponse Lontaran-nya mas Lulu. Mulai mas agus, mas Mulyanto, mbak Tiwin langsung dilengkapi oleh mbak Rita dan mbak Isti, mbak Kasandra, bang Wiwan dan bang Alberth (dan juga saya sendiri).

Saya rasakan diskusinya mulai mengkerucut kepada 2 hal :

1. Pokok permasalahan Sisdiknas.
2.Teknis tindak lanjut pembahasan.

Butir 1. kita sudah cukup banyak mendapatkan masukan dan diskusinya cukup jauh, dimana (kalau kawan2 sependapat) boleh dikatakan kita sudah sampai kepada perumusan satu hipotesa dalam memasuki Permasalahan Sisdiknas.

Kira2 Hipotesa tsb mengatakan bahwa sebetulnya:

"There is nothing wrong dalam Sistem Pendidikan Nasional" yang sudah dikembangkan sejauh ini.

Nah kalau hipotesa ini diterima (belum tentu kawan2 setuju lho), tentu berikutnya timbul pertanyaan : Lalu salahnya dimana ?

> Apakah pada penjabaran SISDIKNAS tsb kedalam sub-sistem pendidikan berikutnya (derivatif-nya) > Ataukah pada Strategi pengembangan sub-sistem derivatif-nya (mungkin berbekal beberapa
Standar / Permen lalu Depdiknas menyerahkan proses penjabarannya kepada masyarakat, dgn
asumsi masyarakat lah yang paling tau kebutuhan pasar tenaga kerja)
> Atau pada tahap / proses implementasinya (yang mungkin terkendala).

Tentunya perlu kita melakukan diskusi yang cukup intens untuk menjawab pertanyaan-hipoteti s diatas. Mungkin dalam forum tsb, perlu kita minta pendapat para Nara sumber yang representative (supaya jangan terjadi distorsi). Baru kita bisa menentukan dimana kita akan turut berpartisipasi.

Butir 2. Mengingat banyak kawan2 yang berharap diskusi ini dilakukan terbuka sehingga dapat mengikut sertakan sebanyak mungkin peserta dan semakin lengkap sudut pandang yang disampaikan, bagaimana saran kawan untuk teknis pelaksanaannya?

Melalui Tim Kecil, kayanya tidak cocok ya. Saya sangat setuju dengan pandangan mbak Kasandra.
(Memang gagasan Tim kecil waktu itu timbul pada waktu response kawan2 baru / masih sedikit).

Tapi untuk menuntaskan analisa permasalahan yang kompleks diatas melalui forum Milis ini, rasanya kok, akan jadi sangat lama. Sebab dalam perjalanan diskusi tsb nantinya, saya bayangkan akan sangat mungkin kita harus bagi tugas, seperti misalnya untuk mendapatkan informasi dari Nara sumber ttt di Depdiknas, dll.
Bisa2 kita jadi bosan dan merasa kita bisanya hanya ber wacana saja.

Nah enaknya bagaimana ?
Saya pulangkan saja kepada Mas Lulu (mumpung resminya beliau masih Ka Himpsi Jaya).

" Pulangkan saja aku pada ayah dan ibuku" (Betharia Sonata)
he he he. Jadul banget ya. Maklum wis kewuuut.

Wassalam
Wisnu
(Wisnu aja ya, Khawatir ayah saya - Mas Baron alm kaget kaget di Tanah kusir. he he)